Sosok Pencetus titik dalam al-Qur'an
7:26 PMPENCETUS ILMU NAHWU
Abu al-Aswad ad-Duali disebut juga sebagai pencetus ilmu tata bahasa (Nahwu dan Sharaf). Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa Abu al-Aswad ad-Duali adalah orang yang pertama kali menulis kitab tentang ilmu nahwu setelah khalifah Ali bin Abi Thalib.[2] Abu al-Aswad ad-Duali pernah diberikan sebuah lembaran yang bertuliskan :
الكَلَامُ كُلُّهُ اِسْمٌ وَفِعْلٌ وَحَرْفٌ
Perkataan itu mencakup isim, fiil, dan hurf
فَالإِسْمُ مَا دَلَّ عَلَى الْمُسَمَّي
Isim adalah suatu yang menunjukan kepada nomina
وَالفِعْلُ مَا دَلَّ عَلَى الحَرَكَةِ
Fiil adalah sesuatu yang menunjukan perbuatan
وَالحَرْفُ مَا جَاءَ لِمَعْنَى لَيْسَ بِاِسْمٍ وَفِعْلٍ
Hurf adalah sesuatu yang memiliki arti namun bukan
termasuk isim dan fiil
Setelah memberikan lembaran tersebut,
khalifah Ali bin Abi Thalib mengatakan:
إِنْحَ النَحْوَ هذَا
"Buatkan
contoh seperti ini".
Perintah inilah kemudian yang
menjadikan ilmu ini disebut dengan ilmu nahwu. Dan hal inipula yang menjadi
dasar penulisan ilmu nahwu oleh Abu al-Aswad ad-Duali dikemudian hari. Setelah meminta
izin kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menulis seperti apa yang ditulis sang
khalifah.
PENULISAN TITIK DI AL-QUR'AN
Seperti yang pernah terjadi, Abu al-Aswad ad-Duali pernah mendengar seseorang membaca ayat ketiga (3) pada surat at-Taubah :
اَنَّ اللّٰهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهُ
Yang menimbulkan arti : "Allah berlepas diri dari orang-orang Musyrik dan Rasul-Nya." Mendengar hal tersebut Abu al-Aswad ad-Duali berucap "Maha Suci Allah, Dia tidak pernah berlepas diri dari Rasul-Nya". Kesalahan pembacaan yang terjadi adalah pada lafadz " " وَرَسُوْلهُ yang seharusnya dibaca "u" pada huruf "lam" dengan Dhammah, akan tetapi dibaca "I" dengan kasrah, sehingga menimbulkan arti yang berbeda dan merupakan kesalahan yang fatal. Seharusnya artinya "Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang Musyrik
Dalam
kasus yang lain, ketika Abu al-Aswad ad-Duali sedang berjalan dengan putrinya
pada suatu malam, kemudian sang anak mengucapkan :
مَا احْسَنُ السَّمَاءِ
Yang berarti "Apakah
yang paling bagus di langit ?"
Pendapat lain
مَا أَجْمَلُ السَّمَاءِ
Yang berarti "Apakah
yang paling indah di langit ?"
Tanpa dia sadari bahwa
ungkapan yang diucapkan adalah bentuk pertanyaan, bukan kekaguman.
Kemudian ayahnya menjawab :
نُجُوْمُهَا
Yang berarti "Bintang-bintangnya".
Sang anak menyanggah dengan
mengatakan :
إنّما أرادتُ التّعجبَ
"Saya
hanya ingin mengungkapkan kekaguman".
Kemudian ayahnya mengatakan
bahwa ungkapan yang dia gunakan salah, karena ungkapan tersebut adalah bentuk
pertanyaan. Seharusnya yang diucapkan adalah :
مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ
Yang berarti "Betapa indahnya langit ini".[3]
Dari beberapa latar belakang kesalahan yang terjadi inilah kemudian Abu al-Aswad ad-Duali memberikan titika pada al-Qur'an.
[1] Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Penj, Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), Hal. 376.
[2] Abdul Hadi Fadli, Markaz ad-Dirasah an-Nabawiyah, (Urdun: Maktabah al-Manar, 1986), Hal. 9.
[3] Muhammad al-Thahthawiy, Nasyatu an-Nahwu
wa Tarikh Asyhuria an-Nuhah, (Mesir: al-Azhar, 1969), Hal. 9.
0 comments
berkomentarlah dengan bijak